PORTALSWARA.COM — Awalnya menjadi tempat para kaum elit, yang kemudian merupakan embrio bioskop pertama di Kota Medan.
Bioskop ini didirikan oleh pemerintahan kolonial pada masa era sebelum kemerdekaan.
De Oranje Bioscoop adalah bioskop pertama yang berada di wilayah Kota Medan.
Menurut Dosen Antropologi yang berkutat di Pusat Studi Ilmu Sejarah (Pusis) Universitas Negeri Medan (Unimed), Erond L Damanik, bioskop pertama di Medan itu dibangun pada tahun 1889 di sekitar Lapangan Merdeka.
“Bioskop yang pertama di Medan itu dulu dekat Mandiri Tower atau Titi Gantung yang lama itu, daerah jembatan dekat Vihara,” kaya Erond.
Ia menyampaikan bioskop itu sempat pindah ke daerah Jalan Irian Barat dan beroperasi sampai tahun 1942. Lalu, pada tahun 1958 bioskop itu dinasionalisasi dan diubah menjadi Ria Bioskop. Sampai akhirnya tahun 1984, gedung itu menjadi Kantor Dewan Kesenian Sumatera Utara (Sumut).
Berbeda dengan bioskop yang kini berada di mal-mal, menampilkan film berbicara, dengan ragam warna, serta dapat ditonton semua kalangan. Dahulu, De Oranje Bioskop hadir dengan film bisu dengan warna hitam putih dan hanya dinikmati kalangan elite.
“Bioskop ini, berbentuk rumah besar, menghadirkan film Barat dengan kapasitas penonton paling 50-75 orang. Yang bisa menikmati film itu juga kalangan elite, seperti pengusaha serta pekerja yang punya posisi tinggi perusahaan perkebunan,” ungkapnya.
Kendati begitu, tak dapat dipungkiri Oranje menjadi embrio bioskop yang pertama di Medan. Tak hanya menjadi tempat menonton, para kaum elite yang datang turut menjadikan ruang itu sebagai tempat bertemu antar keluarga.
Di dalam jurnal berjudul “Memutar Sejarah Gambar Idoep Masa Silam”, yang dituliskan Taslim Batubara, menjelaskan pemilik De Oranje Bioscoop ialah Michael yang merupakan warga Belanda.
Jurnal yang dipublikasi Mahesa Research Center ini mengungkapkan film yang ditayangkan De Oranje berupa berupa kisah orang-orang Belanda maupun Eropa.
Setelah itu muncul lah bioskop-bioskop baru, yaitu: Rex Bioscoop (1918), Deli Bioscoop, Astoria Bioscoop, Tjong Koeng Tat Bioscoop (1921), dan Orion Bioscoop (1931).
“Setelah berakhirnya masa film bisu sejak tahun 1927, bioskop-bioskop di Kota Medan mulai berlomba untuk menayangkan film bicara. Film bicara pertama yang tayang di Medan adalah film tentang pos dan telegraf,” tulis Taslim.
Ia menuturkan sejak akhir abad ke-19, bioskop mulai menghiasi hiburan masyarakat Medan. Awalnya kehadiran bioskop hanya bisa dinikmati oleh kalangan elite, seperti para Meneer (Tuan Eropa), pejabat pemerintahan, keluarga dari bangsa Eropa, dan Vreemde Oosterlingen (orang Timur Asing).
Selain itu, bioskop juga dijadikan tempat bertemu para keluarga bangsawan perkebunan yang ada di Kota Medan. Ada pun aturan industri perfiliman berubah ketika Belanda mulai takluk kepada Jepang tahun 1942. Sensor terhadap film semakin ketat.
“Penguasa Militer Jepang, membuat sebuah aturan yang menyatakan semua pembuatan film di Hindia-Belanda harus dikoordinasikan dengan lembaga sensor film milik Jepang, bernama Nichi’ei,” ungkapnya.
Ada beberapa kriteria film yang lulus sensor. Yakni, tidak mengandung unsur budaya Barat, berisi semangat kebangsaan, kebahagiaan, dan sopan santun. Alhasil, film yang dipertunjukkan tak jarang bertujuan untuk propaganda.
Melansir detiksumut.com, Minggu (03/12/2023), masuk ke era kemerdekaan, produksi film sempat berhenti selama beberapa tahun. Barulah pada tahun 1948 film di Indonesia mulai diproduksi kembali, di antaranya: Air Mengalir di Tjitarum, Anggrek Bulan dan Jauh Dimata.
“Industri film pada masa itu lah ditandai dengan semangat revolusi dan Nasionalisme. Muncul beberapa perusahaan film lokal, seperti Perusahaan Film Nasional (Perfini) oleh Haji Usmar Ismail serta Perseroan Artis Indonesia (Persari) oleh Djamaludin Malik membuat industri film Indonesia berkembang pesat. Kemudian muncul juga beberapa persatuan pengedar film, di antaranya: Ikatan Pengedar Film Indonesia (IPFI) dan Gabungan Importir Film Indonesia (GIFI),” ucapnya. (psc)