Kartel Industri Sawit di RI Tak Ada, Pemain Banyak

PORTALSWARA.COM, Jakarta — Kartel industri sawit di RI tidak ada, tetapi pemainnya banyak. Terutama, kata Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute Policy (PASPI), Tungkot Sipayung, kartel minyak goreng di Indonesia secara ekonomi tidak ada. Ini merujuk pada banyaknya jumlah produsen sawit dari sekala kecil hingga besar.

Dikatakannya, ada banyak pelaku minyak goreng di Indonesia, yaitu sekitar 100 produsen. Sekitar 70 produsen dari jumlah tersebut menjadi anggota Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI).

“Sekarang ada 70-80 produsen dan mereknya berbeda-beda. Itu cukup banyak untuk ukuran industri minyak sawit di Indonesia,” ucap Tungkot dalam keterangan tertulis, Selasa (15/11/2022),

Berdasarkan adagium ekonomi, lanjutnya, bila ada banyak pemain dalam suatu industri, meskipun didorong untuk melakukan kartel, tetap tidak akan terjadi karena industri akan berjalan sendiri-sendiri. Beda halnya jika jumlah pemain sedikit, walaupun dilarang, kartel akan terjadi.

“Paling ideal adalah persaingan sempurna, yang mana pemainnya banyak, seragam, dan tidak ada persaingan tapi itu hanya ada di text book,” katanya.

Indikasi lain tidak adanya kartel minyak goreng adalah persaingan pasar minyak goreng dalam negeri tidak hanya sawit, tetapi juga ada minyak nabati lain dari luar negeri seperti rapeseed dan biji bunga matahari. Selain ketersediaan bahan baku yang melimpah, ada banyak distributor dan pemain di setiap provinsi.

Apakah harga minyak goreng dikendalikan? Berdasarkan data PASPI, harga minyak goreng dalam negeri mengikuti irama harga dunia yang menunjukkan pasar yang terintegrasi secara internasional. Tungkot mengatakan kondisi tersebut positif karena menunjukkan bahwa pasar di Tanah Air efisien.

“Sejak 2019, harga dalam negeri lebih stabil dibandingkan internasional. Kalau ada kartel harga lokal pasti ikut internasional,” ungkapnya.

Baca Juga :  Jokowi Bangun IKN Dibantu 10 Investor Kakap

Tungkot menambahkan tidak ada mafia minyak goreng yang menyebabkan kelangkaan. Hal itu terjadi karena Domestik Price Obligation (DPO), yaitu ditetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET) minyak goreng senilai Rp14 ribu di tangan konsumen.

Padahal terdapat biaya distribusi dari produsen ke pasar yang tidak sesuai dengan harga CPO yang berlaku. Hal ini mengakibatkan kerugian pada produsen, sehingga memangkas produksinya.

Ia pun menilai industri biodiesel di Indonesia sudah mengikuti arahan pemerintah sebagai upaya membangun kemandirian energi di dalam negeri serta mendukung sektor perkebunan kelapa sawit. Hal ini ia sampaikan untuk menyikapi demo sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang mengatasnamakan petani kelapa sawit. Mereka gencar menyuarakan anggapan bahwa adanya pengusaha yang diuntungkan subsidi biodiesel.

“Produsen jangan terusan-terusan jadi victim (korban) karena mereka mengikuti aturan pemerintah. Kalau ada yang dilanggar ada proses hukumnya,” tutupnya.

Menurut Tungkot, subsidi biodiesel sebenarnya bukan diberikan kepada pelaku usaha, tetapi konsumen. Pasalnya, harga biodiesel tergantung harga CPO dan BBM dunia.

Pemerintah, melansir detik.com, Rabu (16/11/2022), telah menetapkan Harga Indeks Pembelian (HIP) solar dan HIP biodiesel setiap bulan. Jika HIP solar lebih murah dari HIP biodiesel, maka BPDPKS menutup selisihnya (HIP biodiesel dikurangi HIP solar). Sebaliknya, bila HIP solar lebih mahal dari HIP biodiesel (seperti saat ini) tidak ada subsidi dari BPDPKS. (psc/bs)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *