PORTALSWARA.COM – Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy’ari dan enam komisioner lainnya kembali menerima sanksi DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu). Mereka dianggap melanggar kode etik terkait kebocoran data pemilih pada 2023, yang dinilai bisa memberi contoh buruk bagi KPU Provinsi hingga Kabupaten/Kota.
“Ketika KPU RI sendiri tidak mampu menjadi teladan, maka saya khawatir hal ini akan diikuti oleh KPU Provinsi dan Kabupaten/Kota. Toh tidak ada sanksi serius yang diberikan,” kata Direktur Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia Neni Nur Hayati saat dihubungi Rabu (15/05/2024).
Menurut Neni, sanksi terhadap ketua dan komisioner KPU dapat mempengaruhi integritas pemilihan umum, terutama menjelang pemungutan suara pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak pada November 2024.
“Semakin banyak penyelenggara pemilu yang tidak berintegritas, liar dan sulit dikontrol maka akan memiliki pengaruh signifikan pada proses dan hasil yang sedang dijalankan,” ujar Neni.
Neni juga menyayangkan putusan DKPP terhadap pelanggaran etik ketua dan para komisioner KPU yang dinilai kurang tegas.
“Ketika putusan DKPP ini tumpul, lalu kita bisa berharap kepada siapa lagi untuk bisa membenahi integritas, moralitas serta profesionalitas penyelenggara Pemilu,” papar Neni.
Hasyim dan komisioner KPU yakni Mochammad Afifuddin, Betty Epsilon Idroos, Parsadaan Harahap, Yulianto Sudrajat, Idham Holik, dan August Mellaz dijatuhi sanksi peringatan keras oleh DKPP. Mereka terbukti melakukan pelanggaran kode etik terkait dengan dugaan kebocoran data pemilih pada Sidalih (Sistem Informasi Data Pemilih) KPU RI pada 2023.
Keputusan itu dibacakan DKPP terkait dengan perkara nomor 4-PKE-DKPP/I/2024 yang diadukan oleh Rico Nurfriansyah Ali.
“Memutuskan, mengabulkan pengaduan pengadu untuk sebagian. Menjatuhkan sanksi peringatan kepada teradu I-VII,” kata Ketua DKPP, Heddy Lugito dalam sidang yang digelar, Selasa (14/05/2024).
Anggota DKPP I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi mengatakan, para teradu seharusnya menindaklanjuti dugaan kebocoran data pemilih dengan memedomani ketentuan Pasal 46 UU Nomor 27 Tahun 2002 tentang perlindungan data pribadi. Oleh karena itu, para teradu seharusnya melakukan pemberitahuan kepada masyarakat sebagai bentuk pertanggungjawaban publik.
Hal ini sejalan dengan prinsip jujur, kepastian hukum, tertib, terbuka, dan akuntabel selaku penyelenggara Pemilu.
“Dalih teradu bahwa dugaan kebocoran data pemilih belum dapat dibuktikan karena pihak Bareskrim masih melakukan tahapan penyelidikan, tidak dibenarkan menurut etika penyelenggara pemilu,” kata Dewa Kade saat membacakan pertimbangan putusan.
Melansir kompas.com, Jumat (17/05/2024), para teradu dinyatakan terbukti melanggar ketentuan Pasal 6 ayat 2 huruf d, Pasal 6 ayat 3 huruf d, Pasal 9 huruf a, Pasal 11 huruf a dan huruf c, Pasal 12 huruf e, Pasal 13 huruf c, Pasal 16 huruf b dan huruf e Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilu. (psc)