PORTALSWARA.COM — Upah minimum Provinsi (UMP) yang baru diumumkan Senin (28/11/2022) kemarin, ditolak Partai Buruh dan Organisasi Serikat Buruh. Terkait itu para kaum buruh sampaikan 5 poin.
Partai Buruh dan organisasi Serikat Buruh menyatakan beberapa sikap melihat kenaikan UMP di beberapa daerah. Di antaranya, Banten sebesar 6,4%, DI Yogyakarta sebesar 7,65%, Jawa Timur sebesar 7,85%, hingga DKI Jakarta sebesar 5,6%,
Pertama, menolak nilai persentase kenaikan UMP masih di bawah inflasi Januari – Desember 2022 yaitu sebesar 6,5% plus pertumbuhan ekonomi Januari – Desember yang diperkirakan 5%.
“Kenaikan UMP dan UMK di seluruh Indonesia seharusnya adalah sebesar inflasi dan pertumbuhan ekonomi di masing-masing provinsi atau kab/kota di tahun berjalan, bukan menggunakan inflasi dan pertumbuhan ekonomi tahunan atau Year on Year,” ujar Presiden Partai Buruh yang juga Presiden KSPI Said Iqbal, dalam keterangan tertulis.
Menurutnya, jika menggunakan data September 2021 ke September 2022, hal itu tidak memotret dampak kenaikan BBM yang mengakibatkan harga barang melambung tinggi, sebab kenaikan BBM terjadi pada Oktober 2022.
Kedua, terkait dengan kenaikan UMP DKI Tahun 2023 sebesar 5,6%, Partai Buruh dan organisasi Serikat Buruh mengecam keras keputusan Pejabat Gubernur DKI yang tidak sensitif terhadap kehidupan buruh.
“Kenaikan 5,6% masih di bawah nilai inflasi. Dengan demikian Gubernur DKI tidak punya rasa peduli dan empati pada kaum buruh,” tegas Said Iqbal.
Maka dari itu, pihaknya mendesak agar Pejabat Gubernur DKI Jakarta merevisi kenaikan UMP DKI Tahun 2023 sebesar 10,55%, sesuai dengan yang diusulkan Dewan Pengupahan Provinsi DKI unsur serikat buruh.
Menurut Said, melansir detik.com, Rabu (30/11/2022), kenaikan UMP DKI 5,6% tidak akan bisa memenuhi kebutuhan buruh dan rakyat kecil di DKI. Ia mencontohkan dengan biaya sewa rumah sudah Rp900 ribu, transportasi dari rumah ke pabrik (PP) dan pada hari libur bersosialisasi dengan saudara dibutuhkan anggaran Rp900.000, kemudian makan di Warteg 3 kali sehari dengan anggaran sehari Rp40.000 menghabiskan Rp1,2 juta sebulan. Kemudian ditambah biaya listrik Rp400 ribu, biaya komunikasi Rp 300 ribu, sehingga totalnya Rp3,7 juta.
“Jika upah buruh DKI 4,9 juta dikurangi 3,7 juta hanya sisanya 1,2 juta. Apakah cukup membeli pakaian, air minum, iuran warga, dan berbagai kebutuhan yang lain? Jadi dengan kenaikan 5,6% buruh DKI tetap miskin,” kata Said Iqbal.
Ketiga, UMP DKI yang naik 5,6% akan mengakibatkan UMK di seluruh Indonesia menjadi kecil. Maka dari itu, Partai Buruh dan organisasi Serikat Buruh mendesak agar UMP DKI Jakarta direvisi menjadi sebesar 10,55% sebagai jalan kompromi dari serikat buruh yang sebelumnya mengusulkan 13%
Keempat, Partai Buruh dan organisasi Serikat Buruh mengapresiasi sikap pemerintah yang menggunakan Permenaker 18/2022 dan tidak lagi menggunakan PP 36/2021.
Kelima, Partai Buruh dan organisasi Serikat Buruh meminta Bupati dan Walikota dalam merekomendasikan nilai UMK ke Gubernur adalah sebesar antara 10% hingga 13%.
“Bilamana tuntutan di atas tidak didengar, mulai minggu depan akan ada aksi besar di berbagai daerah di seluruh Indonesia untuk menyuarakan kenaikan upah sebesar 10 hingga 13%,” tegas Said Iqbal. (psc)