PORTALSWARA.COM, Jakarta – Penambahan kasus gangguan ginjal akut hingga Selasa (1/11/2022), tercatat 325 pasien terkena gagal ginjal. Sementara 179 di antaranya dilaporkan meninggal dunia.
Menurut Menteri Kesehatan RI, Budi Gunadi Sadikin, salah satu dugaan faktor risiko terbesar yang memicu kasus ini adalah adanya cemaran senyawa kimia berbahaya etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) pada pelarut obat sirup.
Hal inilah yang membuat masyarakat bertanya-tanya, mengapa baru sekarang obat sirup bisa menyebabkan keracunan dan berdampak pada gangguan ginjal.
Menjawab itu, Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM RI), Penny K Lukito, menyebut, temuan awal mengarah pada perubahan sumber bahan baku pada dua industri farmasi yang tidak melapor. Setelah ditelusuri lebih lanjut, kandungan cemaran EG di salah satu obat mencapai 48 mg/ml alias ratusan kali lipat dari ambang batas.
“Dan ternyata juga sangat-sangat besar, jauh lebih besar dari 0,1 persen. Antara lain salah satu produk 50 persen, harusnya 0,1 persen, itu 50 persen, jadi itu bukan hanya pencemar EG DEG dalam larutan tersebut tapi sudah memasukkan EG dan DEG, mencampurnya, oplosan, mungkin palsu,” terang Penny, saat rapat Komisi IX DPR RI Selasa (2/11/2022).
Dikatakan Penny, sampai saat ini masih belum ada standar atau otoritas obat di dunia yang menetapkan regulasi cemaran EG dan DEG dalam produk jadi. Lantaran hal itu, pengujian tak dilakukan.
Ditambah lagi, bahan baku obat seperti polietilen glikol dan propilen glikol yang diimpor ke Indonesia berada di bawah pengawasan Kementerian Perdagangan RI, lantaran digunakan pada produk atau bahan tekstil seperti cat.
“Kembali lagi, cemarannya belum bisa kami uji, tidak ada standarnya, SOP-nya yang nasional maupun internasional. Karenanya, kelihatannya harus kita ubah dengan kondisi yang ada,” ucap Penny.
Terkait hal ini, Penny, dilansir dari detik.com, Kamis (3/11/2022), menekankan pentingnya peraturan baru terkait pemisahan bahan pelarut PEG dan PG khusus untuk obat-obatan atau pharmaceutical grade. Hal ini bertujuan untuk menekan potensinya industri ‘nakal’ di pengembangan obat. Ia juga mengaku hal ini menjadi pelajaran untuk membuat regulasi baru agar tidak terjadi kasus serupa di masa mendatang. (psc/sugi)