Oleh: Zulfikar Hikmatyar
(Taruna Madya Politeknik Ilmu Pemasyarakatan Angkatan 58)
STB : 5252
Manajemen Pemasyarakatan A
Dalam beberapa tahun terakhir fenomena “Cancel Culture” marak dan meningkat di tengah – tengah masyarakat kita. Fenomena ini muncul ketika seseorang dituduh melakukan atau mengatakan sesuatu yang dianggap menyinggung. Seperti rasisme, pelecehan seksual atau homofobia.
Dalam beberapa kasus, seorang aktivis kemudian menggunakan media sosial dan tekanan publik untuk mengucilkan orang tersebut. Tujuannya adalah agar orang tersebut kehilangan pekerjaan, platform, atau reputasinya.
Beberapa contoh kasus “Cancel Culture” yang terkenal adalah kasus OJ Simpson, Roseanne Barr dan Michael Jackson.
Fenomena “Cancel Culture” ini dapat menjadi kontradiktif dengan wawasan kebangsaan, terutama dalam konteks Indonesia yang menjunjung tinggi nilai-nilai
wawasan kebangsaan Indonesia menekankan pentingnya persatuan, toleransi dan musyawarah untuk mencapai mufakat.
Budaya “Cancel Culture” ini mengedepankan nilai penghakiman, pengucilan dan pembungkaman yang justru dapat merusak nilai-nilai luhur, dimana menurunkan nilai wawasan kebangsaan di kalangan generasi muda, yang merupakan dampak negatif dari proses globalisasi dan perkembangan teknologi informasi.
Mantan Gubernur Lemhannas RI Prof. Muladi (2005-2011) menyatakan bahwa wawasan kebangsaan adalah cara pandang bangsa Indonesia tentang diri dan lingkungannya, yang mengutamakan persatuan dan kesatuan wilayah dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Menurutnya, wawasan kebangsaan merupakan sudut pandang/cara memandang yang mengandung kemampuan seseorang atau kelompok orang, untuk memahami keberadaan jati diri sebagai suatu bangsa dalam memandang dirinya dan bertingkah laku sesuai falsafah hidup bangsa dalam lingkungan internal dan lingkungan eksternal.
Terjadinya fenomena “Cancel Culture” ini menimbulkan banyak dampak negatif yang
bertentangan dengan nilai nilai wawasan kebangsaan. Berikut merupakan dampak negatifnya:
- Polarisasi dan Fragmentasi
Fenomena ini sering menciptakan polarisasi di antara individu dan kelompok, yang dapat
memperlemah integrasi nasional dan memperkuat fragmentasi sosial. Hal ini berlawanan
dengan prinsip wawasan kebangsaan yang menekankan persatuan dan kesatuan. - Penurunan Toleransi dan Empati
Wawasan kebangsaan menekankan pentingnya dialog bertoleransi dan berempati dalam
perbedaan. “Cancel Culture” cenderung mematikan ruang dialog, karena orang takut
menyampaikan pendapat yang berbeda karena takut “dibatalkan”. Hal ini dapat
menghambat proses musyawarah mufakat, yang merupakan salah satu nilai penting
dalam Pancasila. - Dampak pada Kebebasan Berpendapat
“Cancel Culture” dapat membatasi ruang diskusi dan ekspresi, sehingga masyarakat
cenderung menghindari menyuarakan pendapat yang berpotensi kontroversial. Hal ini
mengurangi kesempatan untuk membangun pemahaman yang lebih luas tentang isu-isu
nasional dan memperlemah wawasan kebangsaan.
Dalam menjaga nilai-nilai luhur wawasan kebangsaan di era digital ini, penting bagi kita untuk menumbuhkan budaya dialog yang sehat, mengedepankan prinsip praduga tak bersalah, dan menjunjung tinggi semangat persatuan dan kesatuan.
Mari kita budayakan sikap kritis yang
konstruktif, berikan ruang untuk perbaikan dan pembelajaran, serta hindari penghakiman yang terburu-buru. Dengan demikian, kita dapat mewujudkan masyarakat Indonesia yang berlandaskan prinsip-prinsip kebangsaan, demokratis, dan bermartabat, serta meninggalkan
budaya “Cancel Culture” yang merusak.***